Memajaki Influencer: PR Pajak Bukan Sekadar Kepatuhan, Tapi Juga Keadilan

Jakarta – Profesi influencer kini masuk radar otoritas pajak. Meski belum ada aturan yang secara khusus menyebut kata influencer, semua penghasilan yang mereka peroleh tetap masuk objek Pajak Penghasilan (PPh) sesuai ketentuan yang berlaku.

Penghasilan influencer umumnya berasal dari dua jalur: pendapatan langsung dari platform digital seperti YouTube, TikTok, atau Instagram, serta kerja sama komersial seperti endorsement, sponsor, dan konten berbayar. Selama tidak ada pengecualian, seluruh pendapatan tersebut wajib dikenakan pajak.

Tantangan Kepatuhan di Tengah Minimnya Aturan Spesifik

Belum adanya definisi resmi “influencer” dalam regulasi membuat sebagian pelaku kesulitan menentukan kewajiban pajaknya. Ada yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) seperti profesi bebas, ada pula yang dikenakan PPh Final UMKM. Kondisi ini memerlukan sosialisasi dan edukasi lebih masif dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) agar wajib pajak paham sebelum patuh.

Peran Ganda Influencer dalam Sistem Pajak

Selain sebagai objek pajak, influencer berpotensi menjadi mitra strategis DJP untuk mengedukasi publik. Dengan pengaruh besar di media sosial, mereka bisa membantu menyebarkan pesan kepatuhan pajak secara kreatif dan menjangkau generasi muda.

Di sisi lain, DJP juga memiliki pekerjaan rumah untuk memetakan potensi penerimaan pajak dari ekosistem digital ini. Pemanfaatan data dari berbagai platform dapat menjadi langkah awal untuk memastikan sistem perpajakan berjalan adil dan setara bagi semua pihak.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top